Buruh dan Gemuruh Pemilu 1955
|
Purwodadi - Selamat Hari Buruh! Gerakan buruh mengiringi perkembangan demokrasi Indonesia. Dalam berbagai literatur, jejak gerakan buruh di Indonesia, dalam bentuk serikat, muncul bibitnya pada masa kolonialisme Belanda.
Pada masa Orde Lama gerakan buruh menjadi kekuatan gerakan politik berbagai partai di Indonesia. Jejaknya bisa dilihat pada pelaksanaan Pemilu nasional pertama di Indonesia, Pemilu 1955.
Menghadapi Pemilu 1955, partai politik berusaha meningkatkan mobilisasi massa. Buruh salah satu kekuatan, menjadi ajang penggarapan partai politik, sehingga awal 1950-an berdiri serikat-serikat buruh yang menjadi underbouw parpol.
Maka muncul lah serikat buruh Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia yang dibentuk Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII) yang dibentuk Nahdlatul Ulama, Serikat Buruh Muslim Indonesia (SARBUMUSI) serta Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Jumlah serikat buruh sejatinya terbilang banyak. Iqbal Faza A dan Syaefuddin Ahrom Al Ayubbi dalam Kronik Gerakan Serikat Buruh di Indonesia (2024) menuliskan pada dekade 1950-an, ratusan organisasi serikat buruh (SB) berafiliasi dengan kekuatan politik sebagai underbouw-nya dengan tujuan untuk mengumpulkan anggota sebanyak mungkin. Situasi ini menunjukkan dinamika politik buruh di Tanah Air begitu dinamis pada dekade tersebut.
Bahkan Iqbal dan Syaefuddin menuliskan serikat buruh kala itu berperan aktif mendorong 'pematangan' demokrasi dalam kehidupan politik nasional.
Pada dekade tersebut, ada 3-4 juta buruh yang terlibat sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh lokal yang tidak terikat dengan afiliasi tingkat nasional.
Ahmad Randi dalam skripsinya berjudul 'Eksistensi Kaum Buruh dalam Partai-partai Politik Peserta Pemilu 1955 di Jawa' menguraikan bagaimana keberadaan buruh memang penting bagi parpol peserta Pemilu nasional pertama di Indonesia itu.
Randi menuliskan ternyata terdapat hubungan serikat buruh dengan Partai-partai politik peserta Pemilu 1955 lho. Maksudnya, hubungan ini diawali saat setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Hubungan keduanya memiliki kepentingan yang berbeda.
"Serikat-serikat buruh memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri agar mendapat upah layak, jaminan kesehatan dan menentang tindakan sewenang-wenang para majikan," tulis Randi (2014).
Sedangkan partai-partai politik peserta Pemilu 1955, tulis Randi, berperan sebagai penampung aspirasi para buruh, yang menginginkan buruh sebagai basis suara mereka pada Pemilu 1955. Kepentingan yang mutual.
Randi Ahmad dan Arditya Prayogi dalam Simbol Palu dan Eksistensinya dalam Politik Praktis Indonesia Tahun 1955 (2022), menuliskan posisi parpol dan serikat buruh merupakan mitra setara, serikat buruh ingin terus bererat dalam politik namun mayoritas tidak menyatakan diri organisasi serikat sebagai partai politik.
Serikat buruh menyatakan diri tetap sebagai organisasi massa buruh yang terus memperjuangkan nasib kesejahteraan hidup kaum buruh, hidup layak, mendapat jaminan kesehatan, serta menuntut perlakuan manusiawi dari para juragan majikan.
"Keinginan-keinginan dan harapan-harapan serikat-serikat buruh itu kemudian dimanfaatkan oleh partai-partai politik. Para pemimpin partai politik melibatkan serikat-serikat buruh guna memperluas dan memperkuat partai-partai yang mereka pimpin," tulis Randi dan Prayogi (2022).
Dari relasi serikat buruh dan partai politik ini, pimpinan serikat mulai masuk aktif di dalam partai politik dan banyak yang menjadi figur kunci dalam parpol.
Partai politik peserta Pemilu 1955 pun sangat berkepentingan dengan eksistensi serikat buruh kala itu. Apalagi secara psikologis kaum buruh sering ditindas. Kondisi ini, tulis Randi dan Prayogi, kerap dikapitalisasi dijadikan momentum oleh parpol untuk mengeruk dukungan suara saat pelaksaaan Pemilu 1955.
Menurut Randi dan Prayogi (2022), eksistensi kaum buruh saat itu dengan segala problemnya menjadi bahan propaganda dengan tujuan menarik simpati supaya mendukung partainya. Harapannya propaganda ini akan terkonversi menjadi suara pada Pemilu 1955.
Bagaimana hasil Pemilu 1955 dan sejauh mana suara kaum buruh berkontribusi, bisa dilihat dari data perolehan suara.
Menurut data KPU dalam Pemilu Indonesia Dalam Angka dan Fakta Tahun 1955-1999 (2000), empat besar parpol pemenang dalam Pemilu nasional pertama Indonesia yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Rinciannya untuk hasil Pemilu 1955 anggota DPR yaitu PNI (8.434.653 suara atau 22,32 persen); Masyumi (7.903.886 suara atau 20,92 persen); NU (6.955.141 suara atau 18,41 persen) dan PKI (6.176.914 suara atau 16,36 persen).
Untuk hasil Pemilu 1955 anggota konstituante urutan parpol peraih suara terbanyak sama, yakni PNI (9.070.218 suara atau 23,97 persen); Masyumi (7.789.619 suara atau 20,59 persen); NU (6.989.333 suara atau 18,47 persen) dan PKI (6.232.512 suara atau 16,47 persen).
Dari dua hasil Pemilu 1955 itu, suara buruh dalam partai di PNI mencapai 94.477 suara, Masyumi 275.000 suara, NU 96.000 suara dan PKI 2.500.000 suara (Feith:1999 dan Cahyono: 2005)
Dari hasil tersebut dapat dilihat suara buruh yang signifikan dalam Pemilu 1955 masuk untuk suara PKI, Masyumi, NU dan PNI.
Kemenangan PNI, Masyumi, NU dan PKI pada Pemilu 1955 karena partai tersebut cerdik melancarkan kampanye-kampanye sehingga mendapatan dukungan atau simpati besar dari masyarakat.
"Salah satu di antaranya kelompok masyarakat yang sangat potensial dalam memberikan suaranya kepada partai-partai politik dalah kaum buruh," tulis Randi dan Prayogi.
Referensi
Ahmad, Iqbal Faza dan Al Ayubbi, Syaefuddin A. 2024. Kronik Gerakan Serikat Buruh di Indonesia: Peta dan Sejarah, Journal of Social Movements. Vol 1 No 1.
Cahyono, Edi. 2005. Gerakan Serikat Buruh dari masa ke masa: Jaman Kolonial Hindia Belanda hingga Orde Baru, Jakarta: Hasta Mitra.
Feith, Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Randi, Ahmad.2014. Eksistensi Kaum Buruh dalam Partai-partai Politik Peserta Pemilu 1955 di Jawa. Universitas Padjajaran Jurusan Ilmu Sejarah
Randi, A. dan Prayogi, A. (2022). Simbol Palu dan Eksistensinya dalam Politik Praktis Indonesia Tahun 1955, Indra Intitute: Journal of Education and Culture Vol 2 No 3.
Penulis : Amal